Abdul Kahar Muzakkar (ada pula yang menuliskannya dengan nama Abdul
Qahhar Mudzakkar; lahir di Lanipa, Kabupaten Luwu, 24 Maret
1921 – meninggal 3 Februari 1965 pada umur 43 tahun; nama kecilnyaLa Domeng) adalah
seorang figur karismatik dan legendaris dari tanah Luwu, yang merupakan pendiri
Tentara Islam Indonesia di Sulawesi. Ia adalah seorang prajurit Tentara
Nasional Indonesia (TNI) yang terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau Overste pada masa itu.
Ia tidak menyetujui
kebijaksanaan pemerintahan presiden Soekarno pada masanya, sehingga balik
menentang pemerintah pusat dengan mengangkat senjata. Ia dinyatakan pemerintah
pusat sebagai pembangkan dan pemberontak.
Pada awal tahun 1950-an ia
memimpin para bekas gerilyawan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara
mendirikan TII (Tentara Islam Indonesia) kemudian bergabung dengan Darul Islam
(DI), hingga dikemudian hari dikenal dengan nama DI/TII di Sulawesi Selatan dan
Tenggara.
Pada tanggal 3 Februari 1965,
melalui Operasi Tumpas, ia dinyatakan tertembak mati dalam pertempuran antara
pasukan TNI dari satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal Kahar Muzakkar di
Lasolo. Namun tidak pernah diperlihatkan pusaranya, mengakibatkan para bekas
pengikutnya mempertanyakan kebenaran berita kejadiannya. Menurut kisah,
jenazahnya dikuburkan di Kilometer 1 jalan raya Kendari.
Letnan Kolonel Abdul Kahar Muzakkar
Tertembaknya Kahar Muzakkar
TEPIAN Sungai Lasolo, Sulawesi
Tenggara, menjelang dini hari 2 Februari 1965. Dalam kegelapan, satu regu
pasukan dari Batalyon 330 Kujang I, asal Kodam Siliwangi, tersesat kehilangan
arah. Beberapa jam sebelumnya, kompas perlengkapan regu yang dipimpin Pembantu
Letnan Satu Umar Sumarna itu tiba-tiba rusak.
Para prajurit yang semua
berasal dari Jawa Barat itu hanya tahu, mereka tengah berada di ketinggian.
Sementara Sungai Lasolo, yang menjadi penanda arah, berada di lembah di bawah
mereka. ”Kami benar-benar nyasar dan harus melakukan upaya survival,”
kata Ili Sadeli, kini 64 tahun, seorang anggota regu yang tersesat itu, kepada
Sulhan Syafi’i dari Gatra.
Tiga puluh enam tahun telah
berlalu tapi Sadeli, yang ditemui dirumahnya di Desa Sukamandi, Kecamatan
Soreang, Kabupaten Bandung, masih mengingat jelas pengalamannya. Menurut
Sadeli, ketika terang tanah, tiba-tiba saja pasukannya melihat di sungai ada
beberapa orang tengah mencuci beras. Yang lebih mengagetkan: muncul pula
beberapa pria berpakaian hijau dan memanggul senjata.
Tahulah mereka bahwa tujuan
perjalanan jauh mereka –dari Jawa Barat hingga Makassar– telah makin dekat.
Regu Umar Sumarna adalah bagian dari bantuan pasukan asal Kodam Siliwangi pada
Komandan Operasi Kilat pemberantasan gerakan Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DI/TII) Panglima Kodam Hasanuddin, Brigadir Jenderal Andi Muhammad
Jusuf.
Karena yakin yang terlihat itu
adalah kelompok DI/TII Kahar Muzakkar, Umar memerintahkan 18 anggota pasukannya
untuk menggelar strategi penyerangan ke perkampungan tempat kediaman kelompok
itu. Ili Sadeli, yang ketika itu berpangkat kopral dua, bersama lima anak
buahnya, ditugasi berjaga di sepanjang jalan setapak menuju sungai.
Rupanya, Umar berjaga-jaga jika
ada anggota kelompok Kahar yang melarikan diri ke arah sungai. Ketika malam
tiba, ke-13 prajurit regu Umar Sumarna mulai merangsek ke perkampungan pasukan
DI/TII. Dini hari 3 Februari, terjadilah baku tembak antara regu Umar dan
pasukan DI/TII. Ketika itulah, lima anak buah Ili Sadeli meninggalkan posnya di
jalan setapak, untuk ikut menyerbu.
Sadeli, yang sendirian dan
masih bersembunyi di sebuah pohon besar dihalangi semak-semak, tiba-tiba
mendengar suara tapak kaki yang melintas. Tapi, orang pertama ini lewat
melenggang. ”Saya tegang, senjata pun macet,” kata Ili Sadeli. Tak berapa lama,
terdengar satu lagi langkah kaki mendekati tempat Ili Sadeli. Kali ini, muncul
sosok bertubuh tegap.
Ketika makin mendekat, terlihat
jelas orang itu berkepala sedikit botak, berkacamata, dan raut mukanya bersih
serta rambutnya ikal. ”Wah, wajahnya persis seperti terlihat di foto Kahar
Muzakkar,” bisik Sadeli. Semula Sadeli mau menyergapnya. Tapi, karena orang itu
membawa granat, akhirnya Sadeli memilih memuntahkan peluru dari jarak dua
meter.
Tiga peluru pun terlontar
menembus dada. Orang itu langsung tersungkur di depan Ili Sadeli, tepat pukul
06.05 WIB. ”Kahar geus beunang… hoi, Kahar
geus beunang (Kahar
sudah tertangkap),” Sadeli berteriak. Mendengar teriakan Sadeli yang
berulang-ulang, regu Umar pun bergegas memeriksa mayat itu.
Di ransel kecil korban
ditemukan beberapa dokumen DI/TII, yang menunjukkan bahwa jenazah itu adalah
Kahar Muzakkar, yang selama ini dicari. Toh, keberhasilan regu Umar Sumarna,
dan Ili Sadeli, tak lantas mengakhiri sejarah Kahar Muzakkar. Kontroversi mengenai
kematian Kahar justru muncul setelah penembakan ini.
Sebab, banyak anak buah dan
pendukung Kahar yakin, yang ditembak oleh Ili Sadeli bukanlah Kahar yang
sebenarnya. Kahar yang asli, menurut mereka, telah lenyap menyembunyikan diri.
Kontroversi inilah yang terus berkembang hingga 36 tahun setelah penembakan
oleh Ili Sadeli ini (baca: Reinkarnasi Kontrarevolusi).
Jusuf Menolak Memberitahu
Ketidakjelasan di mana jenazah
Kahar Muzakkar dikuburkan juga menambah kecurigaan bahwa Kahar tak benar-benar
mati. Hasan Kamal Muzakkar, 52 tahun, anak sulung Kahar dari istrinya, Corry
van Stenus, mewakili keluarganya pernah datang pada M. Jusuf untuk meminta
keterangan tentang makam ayahnya. Tapi, Jusuf menolak memberitahu.
Jenderal M. Jusuf
”Menurut Jusuf, kalau letak
kuburan Kahar diketahui masyarakat, makamnya akan disembah dan dikeramatkan.
Itu syirik,” kata Hasan Kamal Muzakkar kepada Gatra. Membisunya M. Jusuf soal
makam Kahar ini menyebabkan di masyarakat muncul banyak versi tentang di mana
sebenarnya letak makam Kahar.
Salah satu versi menyebutkan,
berdasarkan salah satu sumber intelijen di TNI Angkatan Darat, ketika jenazah
dibawa ke Jakarta, sebenarnya ada dua peti jenazah. Satu dibuang ke laut, satu
peti lainnya dibawa lagi ke Makassar dan dimakamkan di taman makam pahlawan.
Ini menyebabkan sebuah kuburan tak bernama di sebelah kiri gerbang taman makam
pahlawan dianggap sebagai kuburan Kahar Muzakkar.
Versi lain datang dari KH
Mas’ud, kerabat dekat Kahar Muzakkar. Menurut versi ini, makam Kahar Muzakkar
sebenarnya terletak dekat sebuah pohon besar di dekat jalan menuju Bandara
Makassar. Semua kesimpangsiuran mengenai letak makam Kahar –kalau jenazahnya
benar dikuburkan– membuat kepercayaan tentang masih hidupnya Kahar terus
terpelihara.
Hingga kini, sebagaimana
dilaporkan wartawan Gatra Zaenal Dalle, di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan,
tempat kelahiran dan basis perjuangan Kahar, pendatang perlu berhati-hati bila
bercakap bahwa Kahar telah wafat. Sebab, bisa-bisa akan kena damprat penduduk
setempat yang fanatik pada Kahar, dan percaya ia masih hidup.
Pada 1989, sebuah jajak
pendapat yang dilakukan seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin memperoleh
hasil yang mengejutkan. Jajak pendapat itu mengambil sampel 200 responden,
warga Makassar berusia 19-23 tahun –yang tentu saja tak bersentuhan langsung
dengan gerakan DI/TII. Hasilnya; 75% yakin bahwa Kahar Muzakkar masih hidup!
Toh, bagi istri kedua Kahar,
Corry van Stenus, kini 78 tahun, kematian suaminya adalah sebuah kepastian. Ia
memang tak menyaksikan langsung jasad Kahar. Tapi, bagi Corry, isyarat
perpisahan dari Kahar jauh lebih ia percayai. Ketika pasukannya mulai
berkurang, Kahar sempat meminta Corry bersembunyi bersama anak bungsunya,
Abdullah Mudzakkar, yang baru berusia delapan tahun.
Isyarat Perpisahan
”Saya titipkan untukmu satu
peleton pasukan inti. Pergilah,” kata Kahar. Lalu Corry pun diantar Kahar ke
salah satu puncak Gunung Kambiasu. Ketika akan berpisah, Kahar tidak bisa
menahan tangis. Ia memeluk Corry dan berkata, ”Istriku, barangkali inilah pertemuan
kita yang terakhir di dunia ini. Selanjutnya, biarlah kita bertemu di akhirat.”
Bagi Corry, ucapan Kahar itulah
isyarat perpisahan dari Kahar. Kepada Corry, Kahar tak berpesan banyak. ”Jaga
kesehatanmu, Corry. Bimbing dan pelihara anakmu baik-baik, agar jadi anak yang
saleh. Bertawakallah kepada Allah. Itu saja pesan Kahar,” kata Corry dengan
nada sedih. Saat berpisah, Kahar memeluk Abdullah erat-erat.
Corry mengenang, Kahar, yang
terkenal berwatak keras, ketika itu tak sanggup membendung kesedihannya yang
mendalam. Hingga, berkali-kali Kahar kembali mengejar Corry sekadar untuk
memberikan salam perpisahan. Tiga bulan setelah peristiwa itu, Corry membaca
kabar kematian Kahar dari ribuan pamflet yang disebarkan dari helikopter.
Corry pun turun gunung, dan
berusaha mengejar jenazah Kahar yang dibawa ke Pakoe. Tapi, M. Jusuf –yang
bertanggung jawab atas jenazah Kahar– melarang Corry melihat jenazah suaminya.
”Jusuf bilang, apa perlunya melihat jenazah Kahar. Toh, jenazahnya sudah
diangkut dengan heli menuju Makassar,” kata Corry.
Beruntung, sebelumnya M. Jusuf
sempat memanggil dua anak Kahar, Abdullah Ashal dan Farida, yang ditemani
suaminya, Andi Semangat, untuk melihat jenazah Kahar di Rumah Sakit Palemonia,
Makassar. Berdasarkan cerita anak-anaknya itulah, Corry makin yakin bahwa
jenazah itu adalah Kahar Muzakkar. Sebab, ada bekas eksem di kaki, leher, serta
cambangnya.
Kahar, yang kelak penuh mitos
ini, sebenarnya lahir dari keluarga biasa. Dengan nama Kahar, ia lahir pada 24
Maret 1921 di Kampung Lanipa, Luwu, Sulawesi Selatan, dari lingkungan keluarga
Bugis-Luwu yang dikenal memiliki keberanian luar biasa. Kahar pun sejak kecil
menunjukkan keberaniannya. Ia sangat suka main perang-perangan. Kalau
berkelahi, ia tak pernah kalah.
Mengawal Soekarno
Ayah Kahar, yang bernama
Malinrang, memiliki banyak sawah dan ladang. Walau tak berasal dari kalangan
bangsawan, ayah Kahar memiliki kemampuan berdagang yang baik, sehingga punya
banyak uang dan disegani masyarakat. Tapi uniknya, Kahar justru tumbuh menjadi
remaja yang gemar main domino. Karena itu, orang menjuluki Kahar ”La Domeng”,
alias tukang main domino.
Setelah tamat sekolah rakyat
pada 1938, Kahar dikirim orangtuanya ke Solo, Jawa Tengah, untuk belajar di
sekolah Mualimin Muhammadiyah. Konon, di sekolah inilah KH Sulaeman Habib,
Mufti Besar Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) –negara yang didirikan
Kahar– pertama kali bertemu tokoh ini.
Sulaeman Habib pulalah yang
mengusulkan penambahan nama Kahar menjadi Abdul Kahar Muzakkar, mengambil nama
seorang guru sekolah Mualimin, yang bernama Kahar Muzakkir. Namun, Kahar tak
berhasil menamatkan sekolahnya di Solo. Setelah memperistri Siti Walinah,
seorang gadis Solo, ia kembali ke kampung halamannya pada 1941.
Di Luwu, Kahar sempat bekerja
di sebuah instansi Jepang, Nippon Dahopo. Tapi, sikap antifeodalisme dan
antipenjajahan Kahar terlalu kental. Akibatnya, ia tak hanya dibenci Jepang,
Kahar pun tak disukai Kerajaan Luwu. Kahar difitnah. Ia dituduh mencuri.
Kerajaan pun menghukumnya dengan hukum adat: diusir dari Luwu.
Maka, untuk kedua kalinya, pada
Mei 1943, Kahar meninggalkan kampung halamannya, balik ke Solo. Di kota ini, ia
mendirikan toko Usaha Semangat Muda. Tapi, ternyata Kahar lebih tergoda oleh
pergerakan kemerdekaan. Maka, setelah proklamasi 17 Agustus 1945, ia pergi ke
Jakarta.
Di Ibu Kota, Kahar mendirikan
Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi, yang kemudian menjadi Kebaktian Rakjat
Indonesia Sulawesi. Di Jakarta pula Kahar membuktikan keberaniannya. Pada rapat
raksasa di Ikada, 19 September 1945, ia ikut mengawal Soekarno.
Ir. Soekarno, Presiden Pertama RI
Menghadang Bayonet Jepang
Ketika Bung Karno dan Bung
Hatta didesak untuk berpidato, tidak banyak orang yang berani berdiri di depan
mobil. Tapi, Kahar termasuk segelintir pemuda yang nekat melepaskan dua tokoh
itu dari kepungan bayonet tentara Jepang. Dengan berani, Kahar mendesak mundur
bayonet-bayonet pasukan Jepang yang saat itu sudah mengepung kedua proklamator
itu.
Pada Desember 1945, Kahar
membebaskan 800 tahanan di Nusakambangan, dan membentuknya menjadi laskar
andalan di bawah Badan Penyelidik Khusus, badan intelijen di bawah pimpinan
Kolonel Zulkifli Lubis. Kahar juga mengikuti berbagai pertempuran penting untuk
mempertahankan kemerdekaan. Tak mengherankan, karier Kahar di Angkatan Perang
Republik Indonesia (APRI) makin menanjak.
Kahar, misalnya, dipercaya
menjadi Komandan Persiapan Tentara Republik Indonesia-Sulawesi. Ia pun manjadi
orang Bugis-Makassar pertama yang berpangkat letnan kolonel (letkol). Tapi,
perjalanan karier Kahar ternyata tidak selamanya mulus. Ketika pasukan di luar
Jawa direorganisasi menjadi satu brigade, Kahar tak ditunjuk sebagai pemimpin.
Yang ditunjuk adalah Letkol
J.F. Warouw. Sedangkan Kahar hanya dipilih sebagai wakil komandan. Pada 1952,
setelah berhasil menumpas pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi Selatan, Kahar
menuntut Kesatoean Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), yang terdiri dari 10
batalyon, secara otomatis dimasukkan ke dalam APRI dan menjadi Brigade
Hasanuddin dibawah kepemimpinannya.
Tapi, Kolonel Kawilarang,
Panglima Wirabuana saat itu, menolak. Kekecewaan Kahar pun memuncak. Ia
meletakkan pangkat letkolnya di depan Kawilarang. Menurut Anhar Gonggong,
sejarawan dari Universitas Indonesia, rentetan kegagalan itu membuat Kahar
merasa gagal mengembalikan siri pesse (harga diri)-nya sebagai orang
Bugis-Makassar.
Menurut analisis Anhar
Gonggong, setelah 1953 itu, selain akumulasi siri pesse,
ideologi Islam juga sudah mulai membentuk jati diri Kahar. Pada 3 Agustus 1953,
Kahar dan KGSS-nya menyatakan bergabung dengan gerakan DI/TII Kartosoewirjo.
Belakangan, pada 1962, Kahar membentuk RPII, yang terpisah dari DI/TII
Kartosoewirjo.
Penghargaan Khusus untuk Corry
Kekerasan hati Kahar sebagai
pejuang membuatnya menjadikan pernikahan juga sebagai bagian dari
perjuangannya. Istri pertamanya, Siti Walinah, ia ceraikan karena tidak mau
diajak berjuang di Sulawesi. Banyak pernikahan Kahar lebih dilandasi
kepentingan perjuangan dari kepentingan lain. Secara keseluruhan, Kahar
tercatat memiliki sembilan istri, dan 15 anak.
Tapi, dari semua istrinya,
tampaknya Corry van Stenus-lah yang memiliki kedudukan paling istimewa. Sebab,
sebagai istri, Corry mengizinkan Kahar menikah lagi berkali-kali. Alasan
masing-masing pernikahan Kahar memang berbeda-beda. Boleh jadi, Corry mengerti
dan menyetujui semua alasan Kahar menikahi banyak istri.
Ketika menikahi Corry van
Stenus, misalnya. Kahar bermaksud mengislamkan dan mengajaknya ikut berjuang.
Ketika memutuskan menikahi Siti Hami –yang dinikahi Kahar pada usia 60 tahun–
Kahar berharap istrinya ini dapat membantu membiayai perjuangannya. Siti Hami
memang memiliki kebun kopra sangat luas.
Istri lain Kahar, Siti Habibah,
dinikahi untuk menjaga kehormatan istri panglimanya yang gugur dalam
pertempuran. Kahar juga pernah menikahi salah satu istrinya sebagai simbol
pendobrakannya pada nilai-nilai feodalisme. Walau bukan berasal dari kelompok
bangsawan, Kahar sangat dihormati, sehingga banyak wanita bangsawan menawarkan
diri untuk dipersunting.
Tapi, Kahar justru memilih Daya
sebagai istri terakhirnya. Daya adalah gadis berusia 15 tahun dari suku
Marunene, suku yang biasa dijadikan budak oleh bangsawan Bugis. Yang unik,
Corry-lah yang melamar beberapa istri Kahar lainnya. Corry-lah yang melamar
Siti Hami untuk Kahar. Bahkan, Corry memandikan Daya dengan tangannya sendiri,
sebelum dinikahkan.
Untuk semua pengabdian Corry,
Kahar punya penghargaan khusus. Dalam ceramah di depan para pendukungnya, Kahar
selalu menegaskan, ”Sepeninggalku, kalian boleh menikahi semua bekas istriku,
kecuali Corry. Haram hukumnya, karena riwayat hidup saya akan menjadi rusak.”
Dan terbukti, dari semua istri Kahar, yang tidak menikah lagi hanya Corry van
Stenus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar