Sejarah Tentara Nasional Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas
|
Sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dibentuk melalui
perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia dari ancaman Belanda
yang ingin kembali berkuasa menjajah Indonesia melalui kekerasan
senjata. TNI pada awalnya merupakan organisasi yang bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kemudian pada tanggal 5
Oktober 1945
menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan selanjutnya diubah
kembali menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
Pada masa mempertahankan kemerdekaan ini, banyak rakyat Indonesia
membentuk laskar-laskar perjuangan sendiri atau badan perjuangan rakyat.
Usaha pemerintah Indonesia untuk
menyempurnakan tentara kebangsaan terus berjalan, sambil bertempur dan
berjuang untuk menegakkan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Untuk
mempersatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular
dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI)
secara resmi.
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada
bulan Desember
1949,
Indonesia berubah menjadi negara
federasi dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sejalan dengan itu maka dibentuk pula Angkatan Perang RIS (APRIS)
yang merupakan gabungan antara TNI
dan KNIL. Pada tanggal 17
Agustus 1950,
RIS dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi negera kesatuan, sehingga APRIS berganti nama menjadi Angkatan
Perang Republik Indonesia (APRI).
Pada tahun 1962,
dilakukan upaya penyatuan antara angkatan perang dengan kepolisian
negara menjadi sebuah organisasi yang bernama Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI). Penyatuan satu komando ini dilakukan
dengan tujuan untuk mencapai tingkat efetifitas dan efesiensi dalam
melaksanakan perannya dan menjauhkan pengaruh dari kelompok politik
tertentu.
Pada tahun 1998
terjadi perubahan situasi politik
di Indonesia. Perubahan tersebut berpengaruh juga terhadap keberadaan
ABRI. Pada tanggal 1 April 1999 TNI dan Polri secara resmi dipisah menjadi institusi
yang berdiri sendiri. Sebutan ABRI sebagai tentara dikembalikan menjadi
TNI, sehingga Panglima ABRI menjadi Panglima TNI.
Periode pembentukan (1945-1947)
Badan Keamanan Rakyat
Pada tanggal 22 Agustus 1945 Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk
membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan
rakyat. Badan tersebut adalah Komite Nasional Indonesia
(KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI)
dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).[1]
BKR merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang
(BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit dan kemudian menjadi
Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada dalam zaman Jepang dan
bertugas memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho.[1]
Pada tanggal 18 Agustus 1945 Jepang
membubarkan PETA dan Heiho. Tugas untuk menampung bekas anggota PETA dan
Heiho ditangani oleh BPKKP.[2]
Pembentukan BKR merupakan perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal
19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk membentuk Tentara
Kebangsaan.
Pembentukan BKR diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23
Agustus 1945.[1]
Dalam pidatonya Presiden Soekarno mengajak pemuda-pemuda bekas PETA,
Heiho, Kaigun Heiho, dan pemuda-pemuda lainnya untuk sementara waktu
bekerja dalam bentuk BKR dan bersiap-siap untuk dipanggil menjadi
prajurit tentara kebangsaan jika telah datang saatnya.
Karena pada saat itu komunikasi masih sulit, tidak semua daerah di
Indonesia mendengar Pidato Presiden Soekarno tersebut. Mayoritas daerah
yang mendengar itu adalah Pulau Jawa. Sementara tidak semua Pulau Sumatera
mendengar. Sumatera bagian timur dan Aceh tidak mendengarnya.
Walaupun tidak mendengar pemuda-pemuda di berbagai daerah Sumatera
membentuk organisasi-organisasi yang kelak menjadi inti dari pembentukan
tentara. Pemuda Aceh mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia (API), di
Palembang terbentuk BKR, tetapi dengan nama yang lain yaitu Penjaga
Keamanan Rakyat (PKR) atau Badan Penjaga Keamanan Rakyat (BPKR).[3]
Tentara Keamanan Rakyat
Menyerahnya Jepang kepada tentara sekutu menyebabkan kedatangan
tentara Inggris
ke Indonesia yang dimanfaat oleh tentara Belanda
untuk kembali ke Indonesia. Situasi ini menjadi mulai tidak aman. Oleh
karena itu pada tanggal 5 Oktober 1945,
Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan tentara
kebangsaan yang diberi nama Tentara Keamanan Rakyat.
Pemerintah memanggil bekas Mayor KNIL Oerip Soemohardjo ke Jakarta. Wakil Presiden Dr.(H.C.) Drs
Mohammad Hatta mengangkatnya menjadi Kepala Staf Umum TKR
dengan pangkat Letnan Jenderal dan diberi tugas untuk
membentuk tentera.[4]
Pada waktu itu Markas Tertinggi TKR berada di Yogyakarta.
Presiden Soekarno pada tanggal 6
Oktober 1945,
mengangkat Suprijadi, seorang tokoh pemberontakan PETA di Blitar untuk menjadi Menteri Keamanan Rakyat
dan Pemimpin Tertinggi TKR. Akan tetapi beliau tidak pernah
muncul sampai awal November 1945, sehingga
TKR tidak mempunyai pimpinan tertinggi. Untuk mengatasi hal ini, maka
pada tanggal 12 November 1945 diadakan
Konferensi TKR di Yogyakarta dipimpin oleh Kepala Staf Umum TKR Letnan
Jenderal Oerip Sumohardjo. Hasil konferensi itu adalah terpilihnya Kolonel Soedirman
sebagai Pimpinan Tertinggi TKR. Pemerintah Republik Indonesia pada
tanggal 18 Desember 1945 mengangkat resmi Kolonel Soedirman menjadi
Panglima Besar TKR, dengan pangkat Jenderal.[5]
Menjadi Tentara Keselamatan Rakyat
Untuk memperluas fungsi ketentaraan dalam mempertahankan kemerdekaan
dan menjaga keamanan rakyat Indonesia, maka pada tanggal 7
Januari 1946
pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.2/SD 1946 yang
mengganti nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara
Keselamatan Rakyat. Kemudian nama Kementerian Keamanan Rakyat diubah
namanya menjadi Kementerian Pertahanan.
Markas Tertinggi TKR mengeluarkan pengumuman bahwa mulai tanggal 8
Januari 1946,
nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat.[6]
Tentara Republik Indonesia
Untuk menyempurnakan organisasi tentara menurut standar militer internasional, maka pada tanggal 26
Januari 1946
pemerintah mengeluarkan maklumat tentang penggantian nama Tentara
Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia. Maklumat ini
dikeluarkan melalui Penetapan Pemerintah No.4/SD Tahun 1946.[7]
Untuk mewujudkan tentara yang sempurna, pemerintah membentuk suatu
panita yang disebut dengan Panitia Besar Penyelenggaraan Organisasi
Tentara. Beberapa panitia tersebut adalah Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dan Komodor Suryadarma.[8]
Pada tanggal 17 Mei 1946
panitia mengumumkan hasil kerjanya, berupa rancangan dan bentuk
Kementerian Pertahanan dan Ketentaraan, kekuatan dan organisasi,
peralihan dari TKR ke TRI dan kedudukan laskar-laskar dan
barisan-barisan serta badan perjuangan rakyat.
Presiden Soekarno pada tanggal 25 Mei 1946 akhirnya
melantik para pejabat Markas Besar Umum dan Kementerian Pertahanan. Pada
upacara pelantikan tersebut Panglima Besar Jenderal Soedirman
mengucapkan sumpah anggota pimpinan tentara mewakili semua yang
dilantik.
Tentara Nasional Indonesia
Usaha untuk menyempurnakan tentara terus dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia pada waktu itu. Banyaknya laskar-laskar dan badan perjuangan
rakyat, kurang menguntungkan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Sering terjadi kesalahpahaman antara TRI dengan badan perjuangan rakyat
yang lain.[9]
Untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman tersebut pemerintah berusaha
untuk menyatukan TRI dengan badan perjuangan yang lain. Pada tanggal 15 Mei 1947 Presiden Republik Indonesia
mengeluarkan penetapan tentang penyatuan TRI dengan badan dan laskar
perjuangan menjadi satu organisasi tentara.
Pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno meresmikan penyatuan TRI dengan
laskar-laskar perjuangan menjadi satu wadah tentara nasional dengan nama
Tentara Nasional Indonesia. Presiden juga menetapkan susunan tertinggi
TNI. Panglima Besar Angkatan Perang Jenderal Soerdiman diangkat sebagai
Kepala Pucuk Pimpinan TNI dengan anggotanya adalah Letnan Jenderal Oerip
Sumohardjo, Laksamana Muda Nazir, Komodor Suryadarma, Jenderal Mayor
Sutomo, Jenderal Mayor Ir. Sakirman, dan Jenderal Mayor Jokosuyono.[10]
Dalam ketetapan itu juga menyatakan bahwa semua satuan Angkatan
Perang dan satuan laskar yang menjelma menjadi TNI, diwajibkan untuk
taat dan tunduk kepada segala perintah dari instruksi yang dikeluarkan
oleh Pucuk Pimpinan TNI.[11]
Penataan organisasi (1947-1948)
Kondisi ekonomi negara yang masih baru, belum cukup untuk membiayai
angkatan perang yang besar pada waktu itu. Salah seorang anggota KNIP bernama Z. Baharuddin mengeluarkan gagasan
untuk melaksanakan pengurangan anggota (rasionalisasi) di kalangan
angkatan perang.
Selain itu, hasil dari Perjanjian Renville adalah semakin
sempitnya wilayah Republik Indonesia. Daerah yang dikuasai hanyalah
beberapa karesidenan di Jawa dan Sumatera yang berada
dalam keadaan konomi yang cukup parah akibat blokade oleh Belanda.
Pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden
Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah
Pucuk Pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Besar
Pertempuran. Staf Umum dimasukkan kedalam Kementerian Pertahanan di
bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu Markas
Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan Perang
Mobil. Pucuk Pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang dihapus.
Presiden mengangkat Komodor Suryadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang
dengan Kolonel
T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Besar
Angkatan Perang Mobil diangkat Jenderal
Soedirman.
Staf Umum Angkatan Perang bertugas sebagai perencanaan taktik dan
siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan. Sementara Staf
Markas Besar Angkatan Perang Mobil, adalah pelaksana taktis
operasional.[12]
Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan Angkatan
Perang. Maka pada tanggal 27
Februari 1948,
Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang
membatalkan penetapan yang lama dan mengeluarkan penetapan baru. Dalam
penetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Komodor Suryadarma, sementara itu Markas Besar
Pertempuran tetap di bawah Panglima Besar Jenderal
Soedirman,
ditambah Wakil Panglima yaitu Jenderal Mayor A.H. Nasution. Angkatan Perang berada di bawah
seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf
Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) dan Kepala
Staf Angkatan Udara (KASAU).
Dalam penataan organisasi ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu penataan
kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara
mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil
Panglima Besar Angkatan Perang.
Untuk menyelesaikan penataan organisasi ini, Panglima Besar Jenderal
Soedirman membentuk sebuah panitia yang anggotanya ditunjuk oleh
Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Jenderal Mayor Susaliy
(mantan PETA dan laskar), Jenderal Mayor Suwardi (mantan
KNIL) dan Jenderal Mayor A.H. Nasution dari
perwira muda. Penataan organisasi TNI selesai pada akhir tahun 1948,
setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, Kolonel Hidajat menyelesaikan penataan organisasi tentara di
Pulau Sumatera.[13]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar