Senin, 18 Februari 2013

Atheisme

Ateisme sebagai pandangan filosofi adalah posisi yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.

Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (atheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis. Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia. Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).

Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah.
Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius). Namun beberapa sistem kepercayaan keagamaan dan spiritual seperti agama Buddha Theravada tidak memiliki kepercayaan terhadap tuhan, dan agama tersebut juga disebut sebagai ateistik. Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme, rasionalisme, dan naturalisme, tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.

Asal Istilah
Pada zaman Yunani kuno, kata sifat atheos (ἄθεος, berasal dari awalan ἀ- + θεός "tuhan") berarti "tak bertuhan". Kata ini mulai merujuk pada penolakan tuhan yang disengajakan dan aktif pada abad ke-5 SM, dengan definisi "memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa" atau "menolak tuhan/dewa". Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-kadang menerjemahkan atheos sebagai "ateistik". Sebagai nomina abstrak, terdapat pula ἀθεότης (atheotēs ), yang berarti "ateisme". Cicero mentransliterasi kata Yunani tersebut ke dalam bahasa Latin atheos. Istilah ini sering digunakan pada perdebatan antara umat Kristen awal dengan para pengikut agama Yunani kuno (Helenis), yang mana masing-masing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai ateis secara peyoratif.

Ateisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada "kepercayaan tersendiri" pada akhir abad ke-18 di Eropa, utamanya merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis. Pada abad ke-20, globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada "ketidakpercayaan pada semua tuhan/dewa", walaupun adalah masih umum untuk merujuk ateisme sebagai "ketidakpercayaan pada Tuhan (monoteis)".] Akhir-akhir ini, terdapat suatu desakan di dalam kelompok filosofi tertentu untuk mendefinisikan ulang ateisme sebagai "ketiadaan kepercayaan pada dewa/dewi", daripada ateisme sebagai kepercayaan itu sendiri. Definisi ini sangat populer di antara komunitas ateis, walaupun penggunaannya masih sangat terbatas.

Perbedaan dan Definisi
Suatu gambaran yang menunjukkan hubungan antara definisi ateisme kuat/lemah dengan ateisme implisit/eksplisit. Ateis implisit tidak memiliki pemikiran akan kepercayaan pada tuhan; individu seperti itu dikatakan secara implisit tanpa kepercayaan pada tuhan. Ateis eksplisit mengambil posisi terhadap kepercayaan pada tuhan; individu tersebut dapat menghindari untuk percaya pada tuhan (ateisme lemah), ataupun mengambil posisi bahwa tuhan tidak ada (ateisme kuat).
Para penulis berbeda-beda dalam mendefinisikan dan mengklasifikasi ateisme, yakni apakah ateisme merupakan suatu kepercayaan tersendiri ataukah hanyalah ketiadaan pada kepercayaan, dan apakah ateisme memerlukan penolakan yang secara sadar dan eksplisit dilakukan. Berbagai kategori telah diajukan untuk mencoba membedakan jenis-jenis bentuk ateisme.

Definisi ateisme juga bervariasi dalam halnya sejauh mana seseorang harus mengambil posisi mengenai gagasan keberadaan tuhan untuk dianggap sebagai ateis. Ateisme kadang-kadang didefinisikan secara luas untuk meliputi ketiadaan kepercayaan akan keberadaan tuhan/dewa. Definisi yang luas ini akan memasukkan orang-orang yang tidak memiliki konsep teisme sebagai ateis. Pada tahun 1772, Baron d'Holbach mengatakan bahwa "Semua anak-anak dilahirkan sebagai ateis, karena mereka tidak tahu akan Tuhan." George H. Smith (1979) juga mensugestikan bahwa: "Orang yang tidak kenal dengan teisme adalah ateis karena ia tidak percaya pada tuhan. Kategori ini juga akan memasukkan anak dengan kapasitas konseptual untuk mengerti isu-isu yang terlibat, tapi masih tidak sadar akan isu-isu tersebut (sebagai ateis). Fakta bahwa anak ini tidak percaya pada tuhan membuatnya pantas disebut ateis." Smith menciptakan istilah ateisme implisit untuk merujuk pada "ketiadaan kepercayaan teistik tanpa penolakan yang secara sadar dilakukan" dan ateisme eksplisit untuk merujuk pada definisi ketidakpercayaan yang dilakukan secara sadar.

Dalam kebudayaan Barat, pandangan bahwa anak-anak dilahirkan sebagai ateis merupakan pemikiran yang baru. Sebelum abad ke-18, keberadaan Tuhan diterima secara sangat luas sedemikiannya keberadaan ateisme yang benar-benar tidak percaya akan Tuhan itu dipertanyakan keberadaannya. Hal ini disebut theistic innatism (pembawaan lahir teistik), yakni suatu nosi bahwa semua orang percaya pada Tuhan dari lahir. Pandangan ini memiliki konotasi bahwa para ateis hanyalah menyangkal diri sendiri. Terdapat pula sebuah posisi yang mengklaim bahwa ateis akan dengan cepat percaya pada Tuhan pada saat krisis, bahwa ateis percaya pada tuhan pada saat meninggal dunia, ataupun bahwa "tidak ada ateis dalam lubang perlindungan perang (no atheists in foxholes)." Beberapa pendukung pandangan ini mengklaim bahwa keuntungan antropologis agama membuat manusia dapat mengatasi keadaan susah lebih baik (cf.opium of the people Karl Marx, Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right, Deutsch-Französische Jahrbücher February, 1844). Beberapa ateis menitikberatkan fakta bahwa terdapat banyak contoh yang membuktikan sebaliknya, di antaranya contoh-contoh "ateis yang benar-benar berada di lubang perlindungan perang."

Batasan dasar pemikiran ateistik yang paling luas adalah antara ateisme praktis dengan ateisme teoritis. Bentuk-bentuk ateisme teoritis yang berbeda-beda berasal dari argumen filosofis dan dasar pemikiran yang berbeda-beda pula. Sebaliknya, ateisme praktis tidaklah memerlukan argumen yang spesifik dan dapat meliputi pengabaian dan ketidaktahuan akan pemikiran tentang tuhan/dewa.

Ateisme praktis
Dalam ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai apateisme, individu hidup tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan tuhan tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai tidak penting dan tidak berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita. Salah satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalisme metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh menerima atau mempercayainya." Ateisme praktis dapat berupa:

• Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan lainnya;
•Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran intelek dan tindakan praktis;
•Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan tuhan dan agama; dan
•Ketidaktahuan akan konsep tuhan dan dewa.

Ateisme teoritis
Ateisme teoritis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan tuhan, dan secara aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen dari rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoritis untuk menolak keberadaan tuhan , utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan psikologis dan sosiologis.

Ateisme, agama, dan moralitas
Walaupun orang yang mengaku sebagai ateis biasanya diasumsikan tak beragama, beberapa sekte agama tertentu pula ada yang menolak keberadaan dewa pencipta yang personal. Pada akhir-akhir ini, aliran-aliran keagamaan tertentu juga telah menarik banyak penganut yang secara terbuka ateis, seperti misalnya Yahudi ateis atau Yahudi humanis dan Kristen ateis.
Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun diluar ketidakpercayaan pada dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun. Untuk alasan yang sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari universalisme moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai dengan nihilisme moral, yang berpendapat bahwa moralitas adalah hal yang tak berarti.

Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato dilema Euthyphro bahwa peran tuhan dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah tidak diperlukan maupun adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas haruslah diturunkan dari Tuhan dan tidak dapat ada tanpa pencipta yang bijak telah menjadi isu-isu yang terus menerus muncul dalam debat politik Persepsi moral seperti "membunuh adalah salah" dilihat sebagai hukum Tuhan, yang memerlukan pembuat hukum dan hakim. Namun, banyak ateis yang berargumen bahwa memperlakukan moralitas secara legalistik adalah analogi salah, dan bahwa moralitas tidak seperlunya memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiri.

Filsuf Susan Neiman dan Julian Baggini menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan hanya karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan buta. Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior, dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi moralitas perintah itu sendiri. Sebagai contoh, perintah "anda haruslah mencuri" adalah amoral bahkan jika suatu agama memerintahkannya, sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat lebih melakukan evaluasi tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.

Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah Alkitab yang menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa perintah-perintah religius mengikuti norma-norma sosial dan politik, dan bukannya norma-norma sosial dan politik yang mengikuti perintah religius. Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan yang sama jugalah terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan objektif. Cohen memperluas argumen ini dengan lebih mendetail pada Political Philosophy from Plato to Mao dalam kasus kitab Al-Quran yang ia lihat telah memiliki peran yang disesalkan dalam memelihara kode-kode sosial zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan masyarakat sekuler.

Walaupun demikian, para ateis seperti Sam Harris berargumen bahwa kebergantungan agama Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada otoritarianisme dan dogmatisme. Dan sebenarnya pula, fundamentalisme agama dan agama ekstrinsik (di mana agama dipeluk karena ia lebih menguntungkan) berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka. Argumen ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti Perang Salib, Inkuisisi, dan penghukuman tukang sihir, sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar