Republik Demokratik Timor Leste (juga disebut Timor Lorosa’e), yang sebelum merdeka bernama Timor Timur, adalah sebuah negara kecil di sebelah utara Australia dan bagian timur pulau Timor. Selain itu wilayah negara ini juga meliputi pulau Kambing atau Atauro, Jaco, dan enklave Oecussi-Ambeno di Timor Barat. Sebagai sebuah negara sempalan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Timor Leste secara resmi merdeka pada tanggal 20 Mei 2002. Sebelumnya bernama Provinsi Timor Timur, ketika menjadi anggota PBB, mereka memutuskan untuk memakai nama Portugis “Timor-Leste” sebagai nama resmi negara mereka.
Pada
tahun 1975, perkembangan politik di Timtim mengalami keadaan yang
paling kritis dengan adanya tindakan sepihak dari Fretilin, dengan
melakukan proklamasi kemerdekaan 25 November 1975. Namun partai lain
seperti menandingi proklamasi “ integrasi” yang isinya ingin bergabung
dengan Indonesia, dan ahkirnya Masuknya Timor Timur ke dalam Negara
Republik Indonesia disahkan melalui UU No. 7 Th. 1976 (LN. 1976-36)
tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Selain itu juga lahir PP No. 19 Th. 1976 (LN.
1976-36) tentang Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur serta
dipertegas lagi melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/1976 yang mengukuhkan
penyatuan wilayah Timor Timur yang terjadi pada tanggal 17 Juli 1976 ke
dalam wilayah Nergara Kesatuan RI. Proses integrasi ini didasarkan pada
Deklarasi Balibo yang ditandatangani pada tanggal 30 November 1975.
Deklarasi Balibo dan ketentuan-ketentuan di atas menjadi dasar klaim
bagi pemerintah Indonesia. Namun pada ahkirnya persaudaran itu hanya
berlangsung 23 tahun, yang disebabkan timbulnya perbedaan keinginan
antara pemerintah Indonesia dengan Fretilin yang mengklaim sebagai
pemerintahan.
A. Pendahuluan
Masalah
pelepasan Timor Timur (Timtim) dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan menjadi negara baru Republica Democratia de Timor Leste
(RDTL) membawa permasalahan baru dalam bidang kewarganegaraan. Negara
Timor Leste dulunya merupakan bagian dari wilayah Negara Indonesia,
sebagai propinsi termuda. Masuknya Timor Timur ke dalam Negara Republik
Indonesia disahkan melalui UU No. 7 Th. 1976 (LN. 1976-36) tentang
Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Selain itu juga lahir PP No. 19 Th. 1976 (LN. 1976-36)
tentang Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur serta
dipertegas lagi melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/1976 yang mengukuhkan
penyatuan wilayah Timor Timur yang terjadi pada tanggal 17 Juli 1976 ke
dalam wilayah Nergara Kesatuan RI.Proses integrasi ini didasarkan
pada Deklarasi Balibo yang ditandatangani pada tanggal 30 November 1975.
Deklarasi Balibo dan ketentuan-ketentuan di atas menjadi dasar klaim
bagi pemerintah Indonesia.
Namun
dengan adanya penyatuan ini, tidak berarti semuanya akan terlaksana
dengan baik. Status Timor Timur selalu dipermasalahkan, sehingga Sekjend
PBB selalu memprakarsai untuk mengadakan pembicaraan bertiga (tripartie
talks) yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Indonesia dan Menteri
Luar Negeri Portugal dalam mencari suatu penyelesaian masalah di Timor
Timur secara adil, menyeluruh dan diterima secara internasional. Namun
dalam forum tersebut, tidak banyak diperoleh kemajuan karena
masing-masing pihak bersikeras mempertahankan sikapnya masing-masing.
Indonesia
di satu pihak telah menolak pembicaraan di forum itu dengan mengaitkan
resolusi-resolusi tentang Timor Timur yang ada. Di lain pihak, Portugal
selalu menekankan perlunya segera dilaksanakan hak penentuan nasib
sendiri (self-determination) bagi warga negara Timor Timur.Namun keadaan
ini hanya berlangsung sampai dengan tahun 1998. Negara Indonesia
mengalami gejolak sosial politik yang menyebabkan Presiden Soeharto
turun dari kursi kepresidenannya setelah selama 32 tahun menguasai
negeri ini. Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai wakil presiden
diangkat secara sepihak oleh Soeharto untuk meneruskan jabatan presiden
RI dimasa transisi dan penuh kritis itu.
Salah
satu kebijakan politis Habibie yang sangat kontroversial dan fenomenal
pada waktu itu adalah memberikan dua opsi atau pilihan kepada rakyat
Timor Timur yakni referendum atau otonomi khusus.Rakyat Timor
Timur memilih jalan referendum untuk menentukan nasib masa depan mereka.
Maka pada tanggal 30 Agustus 1999, Misi PBB UNAMET (United Nation
Mission for East Timor) mengadakan jajak pendapat (referendum), dengan
opsi tetap bergabung dengan Indonesia atau memilih lepas dari Indonesia.
B. FRETILIN Sebagai Pemerintahan
Tetapi dari segi niat mereka untuk bertempur demi kemerdekaan dan tidak berkompromi dengan musuh, baik itu UDT maupun Indonesia yang melakukan invlasi, menurut para pengamat yang menyaksikan mereka sedang bertempur, orang-orang militer tidak lebih konservatif dibandingkan dengan pimpinan politik Fretilin. Politisasi tentara dan penyiapan masyarakat oleh militer berlangsung sebgai persiapan menghadapi kemungkinan invasi oleh Indonesia dan dengan pengetahuan bahwa orang-orang Timor Lorosae pro-integrasi telah dipersenjatai dan dilatih. Fretilin punya keinginan untuk menjadikan pemerintahan tetap stabil hingga colonial Portugis kembali untuk dekolonialisasi.
Didalam reorganisasi Fretilin, setelah menjalankan kekuasaan sebagai pemerintah de facto dan masuknya anggota-anggota baru dari angkatan bersenjata, Fretilin melakukan reorganisasi kecil, untuk organisasi pemerintah, bukan organisasi mobilisasi kekuatan. Meskipun para pemimpin masih menyadari perlunya mobilisasi Rakyat, tugas ini diserahkan kepada organisasi-organisasi masa, sementara anggota-anggota Komite Sentral memberi perhatian pada pembuatan keputusan sehari-hari yang meliputi pengolahan pemerintahan. Sepanjang periode ini pemerintah de facto Fretilin menghadapi dilemma dalam pembuatan kebijakan. Sementara mereka ingin secepat mungkin menjalankan kebijakan Fretilin yang telah mereka kembangkan pada masa sebelumnya, mereka menyadari mendesaknya kebutuhan untuk menciptakan kepercayaan kepada pemerintahan mereka, dan kalau mungkin mendorong Portugis untuk kembali, terutama karena hal ini bisa mencegah invasi oleh angkatan bersenjata Indonesia.
Selama dua bulan Fretilin berkuasa di Timor Lorosae, para pemimpinnya bersepakat untuk menunggu perundingan dengan Portugis atas jadwal waktu kemerdekaan. Maka pada awal November kemungkinan pernyataan kemerdekaan menjadi persoalan politik yang penting dalam Fretilin. Di dalam Fretilin ada berbagai pandangan mengenai persoalan ini.
C. Masalah Pembangunan Daerah
Sesuai dengan UU No. 7 tahun 1976, Timtim
pun kemudian ditetapkan statusnya sebgai Propinsi Daerah Tingkat I,
yang dipimpin oleh seorang gubernur kepala daerah. Adapun sebagai
pelaksanaan UU tersebut telah dikeluarkan PP No. 19 tahun 1976 yang
antara lain mengatur secara rinci tentang kedudukan dan susunan
Pemerintah Daerah Tingkat I TIMtim. Propinsi muda ini terdiri dari 13
kabupaten Daerah Timgkat II, dan 16 wilayah kecamatan .
Kebijakan
awal dari proses pembangunan Timtim dilakukan secara bertahap. Tahap
pertama yaitu tahap rehabilitas (1976-19770, dengan sasaran utama
merehabilitasi seluruh prasaraan dan sarana umum, mulai dari rumah
sakit, balai pengobatan, sekolah, samapi berbagai sarana telekomunikasi
serta perhubungan. Di samping itu diadakan pula program peningkatan
ketermapilan bagai para pegawai, agara mereka dapat memahami system
pemerintahan administrasi pemerintahan yang berlaku. Kemudian tahap
kedua adalah tahap Konsolidasi (1977-1978) tahap ini ditujukan untuk
melanjutkan serta meningkatkan langkah-langkah pembangunan sebelumnya,
sehingga menjangkau peningkatan program-program pembangunan ekonomi
rakyat, peningkatan prasarana serta sarana pendidikan, dan sebagainya.
Kemudia pada tahap ketiga yaitu tahap Stabilisasi (1978-1982) dengan
sasaran utama pada pemantapan serta peningkatan kemampuan dan
keterampilan aparat pemerintah daerah secara menyeluruh dan terpadu.
Dengan usaha-usaha tersebut diharapkan bahwa Pemda Titim siap
menyongsong pembangunan pada masa itu dengan Repelita IV.
Semakin
lama masalah yang dirasakan oleh masyarakat Timtim bukanlah kelompok
yang anti Integrasi, tapi cenderung pada perlakuan pemerintah selam
integrasi.Antara presepsi masyarakat dan pendekatan yang
dilakukan pemerintah masih belum sepenuhnya sesuai. Pelaksanaan
pembangunan di Timtim waktu itu memang belum tepat, dan terkesan bahwa
pembangunan fisik memang maju, sementara pembangunan manusianya
tertinggal.
D. Masalah Pembangunan Politik
Berdasarkan
Deklarasi Rakyat Timtim yang diwakili empat partai (Apodeti, UDT, Kota
dan Trabalhsita). Dibidang politik, disebutkan bahwa semua kegiatan
rakyat dalam ideology, ekonomi, social, budaya dan diarahkan guna
meletakan dasar-dasar sinkronisasi masyarakat demi mempercepat
tercapainya integrasi rakyat Timtim ke dalam negeri RI. Timtim harus
bekerja keras untuk mengejar ketinggalannya dari daerah-daerah yang
lain. Untuk itu, berbagai fasilitas kesejahteraan social masyarakat
harus ditingkatkan. Demikian pula harus diusahakan berbagai langkah guna
menyiapkan Timitm, salah satunya bidang pertanian agar membantu
perekonomian mak fasilitas pertanian ditingkatkan.untuk mempercepat
proses pembangunan di timtim, maka pendidikan, kesehatan, penerangan dan
aneka fasilitas social lainnya perlu mendapatkan prioritas, terutama
pada Repelita IV.
Rakyat
timtim memiliki karakteristik yang berbeda dengan rakyat Indonesia pada
umumnya. Secara fisik mereka tidak pernah ikut melakukan perlawanan
terhadap Belanda. Kemudian pada waktu kemerdekaan RI tidak mengantakan
bahwa Timtim bukan bagian wilayahnya karena dibawah kekuasaan Portugis. Permasalahan
Timtim sebenarnya tidak ubahnya seperti permasalahan yang dimasa lalu
juga pernah dialami oleh provinsi di Indonesia yang lain. Dalam
proses integrasi, muncul aneka permasalahan yaitu salahsatunya bersumber
dari factor perbedaaan sejarah dan proses integrasi yang penuh dengan
kekerasan (pada masa penjajahan yang disebut Indonesia adalah wilayah
yang dulunya adalah kekuasaan Hindia-Belanda, sedangkan Timor diduduki
oleh Portugis). Kemudian terjadinya “peristiwa Dili” pada 12
November 1991, yang diawali oleh bentrokan antara pemuda yang pro dan
kontra terhadap integrasi. Kejadian ini juga yang menjadikan hubungan
Indonesia dan Timtim renggang. Dan peristiwa ini menjadi sorotan berita
dalam dan luar negeri dan dengan dicampuri oleh Australia maka kejadian
ini pun semakin menjadikan keadaan tidak kondusif.
E. Masalah Indonesia dengan Timor Leste
Damiri sebelumnya divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Tingkat Pertama HAM ad hoc. Tiga perwira militer lainnya juga telah dibebaskan dari hukuman, yaitu mantan Komandan Resor Militer 154 Wiradharma Letnan Kolonel M. Noer Muis (divonis lima tahun), mantan Kepala Kepolisian Resor Dili Komisaris Besar Hulman Goeltom (tiga tahun), dan mantan Komandan Distrik Militer 1627 Dili Letnan Kolonel Sujarwo (lima tahun). Horta juga menyesalkan proses pengadilan HAM yang hanya menghukum dua warga sipil Timor-Timur, yaitu mantan Gubernur Timor-Timur Jose Abilio Soares dan mantan Panglima Milisi Aitarak Eurico Guterres. “Kami sangat terkejut bahwa hanya dua warga sipil Timor Timur yang dihukum,” kata dia.
Namun demikian, lanjut dia, Pemerintah Timor Leste tidak menyetujui adanya desakan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membentuk suatu pengadilan internasional guna menghukum sejumlah pejabat militer Indonesia. “Itu akan menimbulkan kesulitan dalam hubungan bilateral Indonesia dan Timor Leste,” tegas Horta. Dia merasa khawatir pembentukan pengadilan internasional nantinya akan digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk merusak hubungan bilateral kedua negara. Dia menegaskan, pemerintahnya masih berharap Indonesia dapat memberikan keadilan dalam kasus pelanggaran HAM tersebut.
Rencana pembentukan pengadilan internasional untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, dinilai dapat mengganggu hubungan bilateral antara Indonesia dan Timor Leste. “Tidak ada dampak positif terhadap hubungan Indonesia dan Timor Leste,” tegas juru bicara Departemen Luar Negeri Marty Natalegawa dalam acara jumpa pers di kantornya, Jumat (13/8). Dia menambahkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM Timor Timur harus berdasarkan posisi kedua negara dan bukan berdasarkan pendapat masyarakat internasional. Desakan untuk membentuk pengadilan internasional muncul setelah pengadilan HAM ad hoc di Indonesia membebaskan seluruh perwira militer dan kepolisian. Pengadilan hanya menghukum dua warga sipil Timor Timur, yakni mantan Gubernur Jose Abilio Osorio Soares dan mantan Wakil Panglima Milisi Aitarak Eurico Guterres. Sejumlah protes terhadap keputusan pengadilan ini, antara lain datang dari Pemerintah Amerika Serikat dan Selandia Baru.
Lebih lanjut Natalegawa mengungkapkan, gagasan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan tersebut akan menimbulkan kesan buruk. Dia mempertanyakan apakah lazim Sekretaris PBB memiliki wewenang untuk menilai proses hukum di suatu negara berdaulat. Dia juga mempertanyakan apakah Annan juga akan melakukan hal yang sama terhadap negara lain. “Ada potensi diskriminatif dan sangat mengganggu kemandirian proses hukum,” tegas dia. Dia menegaskan, selama ini pemerintah telah melakukan lobi terhadap negara-negara anggota Dewan Keamanan agar gagasan pembentukan pengadilan internasional itu tidak diterima. Dia merasa yakin pengadilan internasional tersebut tidak akan terbentuk karena hal itu memerlukan persyaratan yang ketat. Meski demikian, lanjut Natalegawa, pemerintah akan berusaha keras untuk meyakinkan negara-negara sahabat agar hal itu tidak terwujud. “Untuk bisa meyakinkan masyarakat internasional dan masyarakat kita sendiri bahwa rasa keadilan itu sudah terpenuhi,” lanjut dia.
Menteri Luar Negeri Jose Ramos Horta juga memiliki pandangan yang sama mengenai hal ini. “Itu akan menimbulkan kesulitan dalam hubungan bilateral Indonesia dan Timor Leste,” tegas dia. Saat semua biaya yang dikucurkan untuk Timtim oleh Indonesia untuk pembangunan, tidak sedikit pengorbanan yang diberikan demi tidak terlepasnya Timor Lorosae. Namun pandangan dunia Internasional kepada Indonesia tentang pergolakan yang terjadi dan ditambah campur tangan Australia, hingga ahkirnya Timtim sudah terlepas kini. Semoga kejadian terlepasnya Timtim tidak akan terulang, walau kini di beberapa wilayah sudah banyak gerakan yang menginginkan lepas dari Indonesia seperti misalnya Aceh dengan GAM-nya dan Papua dengan OPM-nya, bahkan sekarang Maluku pun ikut-ikutan ingin merdeka dengan gerakan RMS-nya. Sekiranya pemerintah mampu dan kita semua juga harus sadar akan pentingnya bersatu dan persatuan, dalam perbedaaan dan jadikan itu adalah kebanggaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar