Jumat, 08 Februari 2013

Shalahuddin al ayyubi



SULTAN SALAHUDDIN AL-AYYUBI, namanya telah
terpateri di hati sanubari pejuang Muslim yang
memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur
terpahat dalam sejarah perjuangan umat Islam
karena telah mampu menyapu bersih,
menghancurleburkan tentara salib yang merupakan
gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa.
Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau
semangat di kalangan Islam yang saat itu telah tidur
nyenyak dan telah lupa akan tongkat estafet yang
telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw., maka
Salahuddinlah yang mencetuskan ide dirayakannya
kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media
peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan
kepahlawanan pantang menyerah yang ditunjukkan
melalui "Siratun Nabawiyah". Hingga kini peringatan
itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat
Islam.
Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat
perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab
terhadap agama (Islam) telah ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke
tanah suci Palestina selama dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan
dan kemampuannya dapat memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard
Lionheart dari Inggris.
Hendaklah diingat, bahwa Perang Salib adalah peperangan yang paling panjang dan dahsyat
penuh kekejaman dan kebuasan dalam sejarah umat manusia, memakan korban ratusan ribu
jiwa, di mana topan kefanatikan membabi buta dari Kristen Eropa menyerbu secara
menggebu-gebu ke daerah Asia Barat yang Islam.
Seorang penulis Barat berkata, "Perang Salib merupakan salah satu bagian sejarah yang
paling gila dalam riwayat kemanusiaan. Umat Nasrani menyerbu kaum Muslimin dalam
ekspedisi bergelombang selama hampir tiga ratus tahun sehingga akhirnya berkat kegigihan
umat Islam mereka mengalami kegagalan, berakibat kelelahan dan keputusasaan. Seluruh
Eropa sering kehabisan manusia, daya dan dana serta mengalami kebangkrutan sosial, bila
bukan kehancuran total. Berjuta-juta manusia yang tewas dalam medan perang, sedangkan
bahaya kelaparan, penyakit dan segala bentuk malapetaka yang dapat dibayangkan
berkecamuk sebagai noda yang melekat pada muka tentara Salib. Dunia Nasrani Barat saat
itu memang dirangsang ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta oleh Peter The
Hermit dan para pengikutnya guna membebaskan tanah suci Palestina dari tangan kaum
Muslimin".
"Setiap cara dan jalan ditempuh", kata Hallam guna membangkitkan kefanatikan itu. Selagi
seorang tentara Salib masih menyandang lambang Salib, mereka berada di bawah lindungan
gereja serta dibebaskan dari segala macam pajak dan juga untuk berbuat dosa.
Peter The Hermit sendiri memimpin gelombang serbuan yang kedua terdiri dari empat puluh
ribu orang. Setelah mereka sampai ke kota Malleville mereka menebus kekalahan gelombang
serbuan pertama dengan menghancurkan kota itu, membunuh tujuh ribu orang penduduknya
yang tak bersalah, dan melampiaskan nafsu angkaranya dengan segala macam kekejaman
www.rajaebookgratis.com
http://rajaebookgratis.wordpress.com
yang tak terkendali. Gerombolan manusia fanatik yang menamakan dirinya tentara Salib itu
mengubah tanah Hongaria dan Bulgaria menjadi daerah-daerah yang tandus.
"Bilamana mereka telah sampai ke Asia Kecil, mereka melakukan kejahatan-kejahatan dan
kebuasan-kebuasan yang membuat alam semesta menggeletar" demikian tulis pengarang
Perancis Michaud.
Gelombang serbuan tentara Salib ketiga yang dipimpin oeh seorang Rahib Jerman, menurut
pengarang Gibbon terdiri dari sampah masyarakat Eropa yang paling rendah dan paling
dungu. Bercampur dengan kefanatikan dan kedunguan mereka itu izin diberikan guna
melakukan perampokan, perzinaan dan bermabuk-mabukan. Mereka melupakan Konstantin
dan Darussalam dalam kemeriahan pesta cara gila-gilaan dan perampokan, pengrusakan
dan pembunuhan yang merupakan peninggalan jelek dari mereka atas setiap daerah yang
mereka lalui" kata Marbaid.
Gelombang serbuan tentara Salib keempat yang diambil dari Eropa Barat, menurut
keterangan penulis Mill "terdiri dari gerombolan yang nekat dan ganas. Massa yang membabi
buta itu menyerbu dengan segala keganasannya menjalankan pekerjaan rutinnya merampok
dan membunuh. Tetapi akhirnya mereka dapat dihancurkan oleh tentara Hongaria yang naik
pitam dan telah mengenal kegila-gilaan tentara Salib sebelumnya.
Tentara Salib telah mendapat sukses sementara dengan menguasai sebagian besar daerah
Syria dan Palestina termasuk kota suci Yerusalem. Tetapi Kemenangan-kemenangan
mereka ini telah disusul dengan keganasan dan pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang
tak bersalah yang melebihi kekejaman Jengis Khan dan Hulagu Khan.
John Stuart Mill ahli sejarah Inggris kenamaan, mengakui pembunuhan-pembunuhan massal
penduduk Muslim ini pada waktu jatuhnya kota Antioch. Mill menulis: "Keluruhan usia lanjut,
ketidakberdayaan anak-anak dan kelemahan kaum wanita tidak dihiraukan sama sekali oleh
tentara Latin yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung dan
pandangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu angkara untuk melakukan
kekejaman. Tentara Salib menghancurleburkan kota-kota Syria, membunuh penduduknya
dengan tangan dingin, dan membakar habis perbendaharaan kesenian dan ilmu
pengetahuan yang sangat berharga, termasuk "Kutub Khanah" (Perpustakaan) Tripolis yang
termasyhur itu. "Jalan raya penuh aliran darah, sehingga keganasan itu kehabisan tenaga,"
kata Stuart Mill. Mereka yang cantik rupawan disisihkan untuk pasaran budak belian di
Antioch. Tetapi yang tua dan yang lemah dikorbankan di atas panggung pembunuhan.
Lewat pertengahan abad ke-12 Masehi ketika tentara Salib mencapai puncak
kemenangannya dan Kaisar Jerman, Perancis serta Richard Lionheart Raja Inggris telah
turun ke medan pertempuran untuk turut merebut tanah suci Baitul Maqdis, gabungan tentara
Salib ini disambut oleh Sultan Shalahuddin al Ayyubi (biasa disebut Saladin), seorang
Panglima Besar Muslim yang menghalau kembali gelombang serbuan umat Nasrani yang
datang untuk maksud menguasai tanah suci. Dia tidak saja sanggup untuk menghalau
serbuan tentara Salib itu, akan tetapi yang dihadapi mereka sekarang ialah seorang yang
berkemauan baja serta keberanian yang luar biasa yang sanggup menerima tantangan dari
Nasrani Eropa.
Siapakah Shalahuddin? Bagaimana latar belakang kehidupannya?
Shalahuddin dilahirkan pada tahun 1137 Masehi. Pendidikan pertama diterimanya dari
ayahnya sendiri yang namanya cukup tersohor, yakni Najamuddin al-Ayyubi. Di samping itu
pamannya yang terkenal gagah berani juga memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk
kepribadian Shalahuddin, yakni Asaduddin Sherkoh. Kedua-duanya adalah pembantu dekat
Raja Syria Nuruddin Mahmud.
Asaduddin Sherkoh, seorang jenderal yang gagah berani, adalah komandan Angkatan
Perang Syria yang telah memukul mundur tentara Salib baik di Syria maupun di Mesir.
Sherkoh memasuki Mesir dalam bulan Februari 1167 Masehi untuk menghadapi perlawanan
Shawer seorang menteri khalifah Fathimiyah yang menggabungkan diri dengan tentara
www.rajaebookgratis.com
http://rajaebookgratis.wordpress.com
Perancis. Serbuan Sherkoh yang gagah berani itu serta kemenangan akhir yang direbutnya
dari Babain atas gabungan tentara Perancis dan Mesir itu menurut Michaud
?memperlihatkan kehebatan strategi tentara yang bernilai ringgi.?
Ibnu Aziz AI Athir menulis tentang serbuan panglima Sherkoh ini sebagai berikut: "Belum
pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yang lebih dahsyat dari penghancuran tentara
gabungan Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda".
Pada tanggal 8 Januari 1169 M Sherkoh sampai di Kairo dan diangkat oleh Khalifah
Fathimiyah sebagai Menteri dan Panglima Angkatan Perang Mesir. Tetapi sayang, Sherkoh
tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil perjuangannya. Dua bulan setelah
pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah.
Sepeninggal Sherkoh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi diangkat jadi Perdana Menteri
Mesir. Tak seberapa lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yang
pemurah dan adil bijaksana itu. Pada saat khalifah berpulang ke rahmatullah, Shalahuddin
telah menjadi penguasa yang sesungguhnya di Mesir.
Di Syria, Nuruddin Mahmud yang termasyhur itu meninggal dunia pada tahun 1174 Masehi
dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh. Sultan muda
ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya terutama (khususnya) Gumushtagin.
Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya
dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam
khotbah-khotbah Jumatnya dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini
tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang
penuh ambisi itu. Suasana yang meliputi kerajaan ini sekali lagi memberi angin kepada
tentara Salib, yang selama ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang
gagah berani, Jenderal Sherkoh.
Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan
meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis. Tentara Salib dengan segera
menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk menghancurkan kota itu setelah
menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin
al-Ayyubi yang segera ke Damaskus dengan suatu pasukan yang kecil dan merebut kembali
kota itu.
Setelah ia berhasil menduduki Damaskus dia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin
Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat
kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh. dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin
untuk memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama
raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi,
kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Diadakanlah gencatan senjata antara Sultan Shalahuddin dan tentara Perancis di Palestina,
tetapi menurut ahli sejarah Perancis Michaud: "Kaum Muslimin memegang teguh
perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi
peperangan." Berlawanan dengan syarat-syarat gencatan senjata, penguasa Nasrani
Renanud atau Reginald dari Castillon menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat
istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.
Lantaran peristiwa itu Sultan sekarang bebas untuk bertindak. Dengan siasat perang yang
tangkas Sultan Shalahuddin mengurung pasukan musuh yang kuat itu di dekat bukit Hittin
pada tahun 1187 M serta menghancurkannya dengan kerugian yang amat besar. Sultan tidak
memberikan kesempatan lagi kepada tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali dan
melanjutkan serangannya setelah kemenangan di bukit Hittin. Dalam waktu yang sangat
singkat dia telah dapat merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum Nasrani,
termasuk kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa dan Beirut. Demikian
juga Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin sehabis pertempuran yang singkat yang
diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat ringan oleh Sultan yang berhati mulia itu.
www.rajaebookgratis.com
http://rajaebookgratis.wordpress.com
Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Jerusalem yang
diduduki tentara Salib dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Ternyata tentara
salib ini tidak sanggup menahan serbuan pasukan Sultan dan menyerah pada tahun 1193.
Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani itu
merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan perlakuan dan
pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh
tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Menurut penuturan ahli sejarah Michaud, pada waktu Jerusalem direbut oleh tentara Salib
pada tahun 1099 Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara besar-besaran di jalan-jalan raya
dan di rumah-rumah kediaman. Jerusalem tidak memiliki tempat berlindung bagi umat Islam
yang menderita kekalahan itu. Ada yang melarikan diri dari cengkeraman musuh dengan
menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang tinggi, ada yang lari masuk istana, menaramenara,
dan tak kurang pula yang masuk masjid. Tetapi mereka tidak terlepas dari kejaran
tentara Salib. Tentara Salib yang menduduki masjid Umar di mana kaum Muslimin dapat
bertahan untuk waktu yang singkat. mengulangl lagi tindakan-tindakan yang penuh
kekejaman. Pasukan infanteri dan kavaleri menyerbu kaum pengungsi yang lari tunggang
langgang. Di tengah-tengah kekacaubalauan kaum peenyerbu itu yang terdengar hanyalah
erangan dan teriakan maut. Pahlawan Salib yang berjasa itu berjalan menginjak-injak
tumpukan mayat Muslimin, mengejar mereka yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan
diri. Raymond d' Angiles yang menyaksikan peristiwa itu mengatakan bahwa di serambi
masjid mengalir darah sampai setinggi lutut, dan sampai ke tali tukang kuda prajurit.
Penyembelihan manusia biadab ini berhenti sejenak, ketika tentara Salib berkumpul untuk
melakukan misa syukur atas kemenangan yang telah mereka peroleh. Tetapi setelah
beribadah itu, mereka melanjutkan kebiadaban dengan keganasan. Semua tawanan kata
Michaud, yang tertolong nasibnya karena kelelahan tentara Salib yang semula tertolong
karena mengharapkan diganti dengan uang tebusan yang besar, semua dibunuh dengan
tanpa ampun. Kaum Muslimin terpaksa menjatuhkan diri mereka dari menara dan rumah
kediaman; mereka dibakar hidup-hidup, mereka diseret dari tempat persembunyiannya di
bawah tanah; mereka dipancing dari tempat perlindungannya agar keluar untuk dibunuh di
atas timbunan mayat.
Cucuran air mata kaum wanita, pekikan anak-anak yang tak bersalah, bahkan juga kenangan
dari tempat di mana Nabi lsa memaafkan algojo-algojonya, tidak dapat meredakan nafsu
angkara tentara yang menang itu. Penyembelihan kejam itu berlangsung selama seminggu.
Dan sejumlah kecil yang dapat melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi budak yang
hina dina.
Seorang ahli sejarah Barat, Mill menambahkan pula : Telah diputuskan, bahwa kaum
Muslimin tidak boleh diberi ampun. Rakyat yang ditaklukkan oleh karena itu harus diseret ke
tempat-tempat umum untuk dibunuh hidup-hidup. Ibu-ibu dengan anak yang melengket pada
buah dadanya, anak-anak laki-laki dan perempuan, seluruhnya disembelih. Lapangan-
Iapangan kota, jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok Jerusalem yang sepi telah dipenuhi
oleh bangkai-bangkai mayat laki-laki dan perempuan, dan anggota tubuh anak-anak. Tiada
hati yang menaruh belas kasih atau teringat untuk berbuat kebajikan.
Demikianlah rangkaian riwayat pembantaian secara masal kaum Muslimin di Jerusalem
sekira satu abad sebelum Sultan Shalahuddin merebut kembali kota suci, di mana lebih dari
tujuh puluh ribu umat Islam yang tewas.
Sebaliknya, ketika Sultan Shalahuddin merebut kembali kota Jerusalem pada tahun 1193 M,
dia memberi pengampunan umum kepada penduduk Nasrani untuk tinggal di kota itu. Hanya
para prajurit Salib yang diharuskan meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan
yang ringan. Bahkan sering terjadi bahwa Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang
tebusan itu dari kantongnya sendiri dan diberikannya pula kemudian alat pengangkutan.
Sejumlah kaum wanita Nasrani dengan mendukung anak-anak mereka datang menjumpai
Sultan dengan penuh tangis seraya berkata: Tuan saksikan kami berjalan kaki, para istri serta
anak-anak perempuan para prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan, kami ingin
meninggalkan negeri ini untuk selama-lamanya. Para prajurit itu adalah tumpuan hidup kami.
www.rajaebookgratis.com
http://rajaebookgratis.wordpress.com
Bila kami kehilangan mereka akan hilang pulalah harapan kami. Bilamana Tuan serahkan
mereka kepada kami mereka akan dapat meringankan penderitaan kami dan kami akan
mempunyai sandaran hidup.?
Sultan Shalahuddin sangat tergerak hatinya dengan permohonan mereka itu dan
dibebaskannya para suami kaum wanita Nasrani itu. Mereka yang berangkat meninggalkan
kota, diperkenankan membawa seluruh harta bendanya. Sikap dan tindakan Sultan
Shalahuddin yang penuh kemanusiaan serta dari jiwa yang mulia ini memperlihatkan
suasana kontras yang sangat mencolok dengan penyembelihan kaum Muslimin di kota
Jerusalem dalam tangan tentara Salib satu abad sebe1umnya. Para komandan pasukan
tentara Shalahuddin saling berlomba dalam memberikan pertolongan kepada tentara Salib
yang telah dikalahkan itu.
Para pelarian Nasrani dari kota Jerusalem itu tidaklah mendapat perlindungan oleh kota-kota
yang dikuasai kaum Nasrani. Banyak kaum Nasrani yang meninggalkan Jerusalem, kata Mill,
pergi menuju Antioch, tetapi panglima Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan
perlindungan kepada mcreka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah
mereka menuju ke tanah kaum Muslimin dan diterima di sana dengan baik. Michaud
mcmberikan keterangan yang panjang lebar tentang sikap kaum Nasrani yang tak
berperikemanusiaan ini terhadap para pelarian Nasrani dari Jerusalem. Tripoli menutup pintu
kotanya dari pengungsi ini, kata Michaud. ?Seorang wanita karena putus asa melemparkan
anak bayinya ke dalam laut sambil menyumpahi kaum Nasrani yang menolak untuk
memberikan pertolongan kepadanya,? kata Michaud. Sebaliknya Sultan Shalahuddin
bersikap penuh timbang rasa terhadap kaum Nasrani yang ditaklukkan itu. Sebagai
pertimbangan terhadap perasaan mereka, dia tidak memasuki Jerusalem sebelum mereka
meninggalkannya.
Dari Jerusalem Sultan Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke kota Tyre, di mana tentara
Salib yang tidak tahu berterima kasih terhadap Sultan Shalahuddin yang telah
mengampuninya di Jerusalem, menyusun kekuatan kembali untuk melawan Sultan. Sultan
Shalahuddin menaklukkan sejumlah kota yang diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai,
termasuk kota Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, dan Debersak. Sultan telah melepas hulu
balang Perancis bernama Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa dia harus segera
pulang ke Eropa. Tetapi tidak lama setelah pangeran Nasrani yang tak tahu berterima kasih
ini mendapatkan kebebasannya, dia mengingkari janjinya dan mengumpulkan suatu pasukan
yang cukup besar dan mengepung kota Ptolemais.
Jatuhnya Jerusalem ke tangan kaum Muslimin menimbulkan kegusaran besar di kalangan
dunia Nasrani. Sehingga mereka segera mengirimkan bala bantuan dari seluruh pelosok
Eropa. Kaisar Jerman dan Perancis serta raja Inggris Richard Lion Heart segera berangkat
dengan pasukan yang besar untuk merebut tanah suci dari tangan kaum Muslimin. Mereka
mengepung kota Akkra yang tidak dapat direbut selama berapa bulan. Dalam sejumlah
pertempuran terbuka, tentara Salib mengalami kekalahan dengan meninggalkan korban yang
cukup besar.
Sekarang yang harus dihadapi Sultan Shalahuddin ialah berupa pasukan gabungan dari
Eropa. Bala bantuan tentara Salib mengalir ke arah kota suci tanpa putus-putusnya, dan
sungguh pun kekalahan dialami mereka secara bertubi-tubi, namun demikian tentara Salib ini
jumlah semakin besar juga. Kota Akkra yang dibela tentara Islam berbulan-bulan lamanya
menghadapi tentara pilihan dari Eropa, akhirnya karena kehabisan bahan makanan terpaksa
menyerah kepada musuh dengan syarat yang disetujui bersama secara khidmat, bahwa tidak
akan dilakukan pembunuhan-pembunuhan dan bahwa mereka diharuskan membayar uang
tebusan sejumlah 200.000 emas kepada pimpinan pasukan Salib. Karena kelambatan dalam
suatu penyelesaian uang tebusan ini, Raja Richard Lionheart menyuruh membunuh kaum
Muslimin yang tak berdaya itu dengan dan hati yang dingin di hadapan pandangan mata
saudara sesama kaum Muslimin.
Perilaku Raja Inggris ini tentu saja sangat menusuk perasaan hati Sultan Shalahuddin. Dia
bernadzar untuk menuntut bela atas darah kaum Muslimin yang tak bersalah itu. Dalam
www.rajaebookgratis.com
http://rajaebookgratis.wordpress.com
pertempuran yang berkecamuk sepanjang 150 mil garis pantai, Sultan Shalahuddin
memberikan pukulan-pukulan yang berat terhadap tentara Salib.
Akhirnya Raja Inggris yang berhati singa itu mengajukan permintaan damai yang diterima
oleh Sultan. Raja itu merasakan bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang berkemauan
baja dan tenaga yang tak terbatas serta menyadari betapa sia-sianya melanjutkan
perjuangan terhadap orang yang demikian itu. Dalam bulan September 1192 Masehi
dibuatlah perjanjian perdamaian. Tentara Salib itu meninggalkan tanah suci dengan ransel
dengan barang-barangnya kembali menuju Eropa.
"Berakhirlah dengan demikian serbuan tentara Salib itu" tulis Michaud "di mana gabungan
pasukan pilihan dari Barat merebut kemenangan tidak lebih daripada kejatuhan kota Akkra
dan kehancuran kota Askalon. Dalam pertempuran itu Jerman kehilangan seorang kaisarnya
yang besar beserta kehancuran tentara pilihannya. Lebih dari enam ratus ribu orang pasukan
Salib mendarat di depan kota Akkra dan yang kembali pulang ke negerinya tidak lebih dari
seratus ribu orang. Dapatlah dipahami mengapa Eropa dengan penuh kesedihan menerima
hasil perjuangan tentara Salib itu, oleh karena yang turut dalam pertempuran terakhir adalah
tentara pilihan. Bunga kesatria Barat yang menjadi kebanggaan Eropa telah turut dalam
pertempuran ini.
Sultan Shalahuddin mengakhiri sisa-sisa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan bagi
kesejahteraan masyarakat dengan membangun rumah sakit, sekolah-sekolah, perguruanperguruan
tinggi serta masjid-masjid di seluruh daerah yang diperintahnya.
Tetapi sayang, dia tidaklah ditakdirkan untuk lama merasakan nikmat perdamaian. Beberapa
bulan kemudian dia pulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Maret tahun 1193. "Hari itu
merupakan hari musibah besar, yang belum pernah dirasakan oleh dunia Islam dan kaum
Muslimin, semenjak mereka kehilangan Khulafa Ar-Rasyidin" demikian tulis seorang penulis
Islam. Kalangan Istana seluruh daerah kerajaan berikut seluruh umat Islam tenggelam dalam
lautan duka nestapa. Seluruh isi kota mengikuti usungan jenazahnya ke kuburan dengan
penuh kesedihan dan tangisan.
Demikianlah berakhirnya kehidupan Sultan Shalahuddin, seorang raja yang sangat dalam
perikemanusiaannya dan tak ada tolok bandingannya, jiwa kepahlawanan yang dimilikinya
dalam sejarah kemanusiaan. Dalam pribadinya, Allah telah melimpahkan hati seorang Muslim
yang penuh kasih sayang terhadap kemanusiaan dicampur dengan sangat harmonis dengan
keperkasaan seorang genius dalam medan pertempuran. Utusan yang menyampaikan berita
kematiannnya itu ke Baghdad membawa serta baju perangnya, kudanya, uang sebanyak
satu dinar dan 36 dirham sebagai milik pribadinya yang masih ketinggalan. Orang yang hidup
satu zaman dengannya, serta segenap ahli sejarah sama sependapat bahwa Sultan
Shalahuddin adalah seorang yang sangat lemah lembut hatinya, ramah tamah, sabar,
seorang sahabat yang baik dari kaum cendekiawan dan golongan ulama yang
diperlakukannya dengan rasa hormat yang mendalam serta dengan penuh kebajikan. "Di
Eropa" tulis Philip K Hitti, dia telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para
penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum kesatria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar