Sabtu, 09 Februari 2013

Baharuddin Lopa



Lahir di Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar, Indonesia, 27 Agustus 1935 – meninggal di Riyadh, Arab Saudi, 3 Juli 2001 pada umur 65 tahun). Jaksa Agung Republik Indonesia dari 6 Juni 2001 sampai wafatnya pada 3 Juli 2001.
Menjadi Anggota Komnas HAM pertama dan Sekretaris Jenderal Komnas HAM 1994-1998. Pernah menjadi Rektor Universitas Islam Az-Zahra.
Almarhum Lopa, dikenal sebagai jaksa yang hampir tidak punya rasa takut, kecuali kepada Allah SWT. Sepanjang karirnya di kejaksaan, Lopa pernah menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tenggara, Aceh, Kalimantan Barat serta Sulawesi Selatan, dan juga mengepalai Pusdiklat Kejaksaan Agung di Jakarta. Begitu menjabat Jaksa Agung, menggantikan Marzuki Darusman, Lopa langsung bekerja keras memberantas korupsi. Lopa langsung memburu Sjamsul Nursalim yang sedang dirawat di Jepang dan Prajogo Pangestu yang dirawat di Singapura agar segera pulang ke Jakarta. Lopa juga memutuskan untuk mencekal Marimutu Sinivasan. Namun ketiga konglomerat “hitam” tersebut mendapat penangguhan proses pemeriksaan langsung dari Presiden Abdurrahman Wahid.
Lopa juga menyidik keterlibatan Arifin Panigoro, Akbar Tandjung, dan Nurdin Halid dalam kasus korupsi. Gebrakan Lopa itu sempat dinilai bernuansa politik oleh berbagai kalangan, namun Lopa tidak mundur. Lopa bertekad melanjutkan penyidikan, kecuali ia tidak lagi menjabat Jaksa Agung. Ia bersama staf ahlinya Dr Andi Hamzah dan Prof Dr Achmad Ali serta staf lainnya biasa bekerja hingga pukul 23.00 setiap hari.
Meski menjabat Jaksa Agung hanya 1,5 bulan, Lopa berhasil menggerakkan Kejaksaan Agung untuk menuntaskan perkara-perkara korupsi dan mencatat deretan panjang konglomerat dan pejabat yang diduga terlibat KKN, untuk diseret ke pengadilan. Ketegasan dan keberaniannya jadi momok bagi para koruptor kakap dan teladan bagi orang-orang yang berani melawan arus kebobrokan.
Lopa menerima anugerah Government Watch Award (Gowa Award) atas pengabdiannya memberantas korupsi di Indonesia selama hidupnya. Simboliasi penganugeragan penghargaan itu ditandai dengan Deklarasi Hari Anti Korupsi yang diambil dari hari lahir Lopa pada 27 Agustus.
Lopa terpilih sebagai tokoh anti korupsi karena telah bekerja dan berjuang untuk melawan ketidakadilan dengan memberantas korupsi di Indonesia tanpa putus asa selama lebih dari 20 tahun. Almarhum Lopa, katanya, adalah sosok abdi negara, pegawai negeri yang bersih, jujur, bekerja tanpa pamrih, dan tidak korup. 
Istri Lopa, Indrawulan, telah memberi contoh kesederhanaan istri seorang pejabat. Watak keras dan tegas suaminya tidak dibuat-buat. Karena itu, ia berusaha sedapat mengikuti irama kehidupan suaminya, mendukungnya dan mendoakan bagi ketegaran Lopa. 
Lopa telah tiada. Memang rakyat meratapi kepergiannya. Tetapi kepergian Lopa merupakan blessing in disguise bagi para koruptor dan penguasa yang enggan menindak kejahatan korupsi.
Dalam usia 25, Baharuddin Lopa, sudah menjadi bupati di Majene, Sulawesi Selatan. Ia, ketika itu, gigih menentang Andi Selle, Komandan Batalyon 710 yang terkenal kaya karena melakukan penyelundupan. Lopa pernah menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tenggara, Aceh, Kalimantan Barat, dan mengepalai Pusdiklat Kejaksaan Agung di Jakarta. Sejak 1982, Lopa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Pada tahun yang sama, ayah tujuh anak itu meraih gelar doktor hukum laut dari Universitas Diponegoro, Semarang, dengan disertasi Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan yang Digali dari Bumi Indonesia. 
Begitu diangkat sebagai Kajati Sulawesi Selatan, Lopa membuat pengumuman di surat kabar: ia meminta masyarakat atau siapa pun, tidak memberi sogokan kepada anak buahnya. Segera pula ia menggebrak korupsi di bidang reboisasi, yang nilainya Rp 7 milyar.
Keberhasilannya itu membuat pola yang diterapkannya dijadikan model operasi para jaksa di seluruh Indonesia.Dengan keberaniannya, Lopa kemudian menyeret seorang pengusaha besar, Tony Gozal alias Go Tiong Kien ke pengadilan dengan tuduhan memanipulasi dana reboisasi Rp 2 milyar. Padahal, sebelumnya, Tony dikenal sebagai orang yang ''kebal hukum'' karena hubungannya yang erat dengan petinggi. Bagi Lopa tak seorang pun yang kebal hukum. 
Lopa menjadi heran ketika Majelis Hakim yang diketuai J. Serang, Ketua Pengadilan Negeri Ujungpandang, membebaskan Tony dari segala tuntutan. Tetapi diam-diam guru besar Fakultas Hukum Unhas itu mengusut latar belakang vonis bebas Tony. Hasilnya, ia menemukan petunjuk bahwa vonis itu lahir berkat dana yang mengalir dari sebuah perusahaan Tony.
Sebelum persoalan itu tuntas, Januari 1986, Lopa dimutasi menjadi Staf Ahli Menteri Kehakiman Bidang Perundang-undangan di Jakarta. J. Serang juga dimutasi ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan.
Baharudin Lopa Sebagai Pahlawan Nasional
Dengan penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ada beberapa alasan kenapa Baharudin Lopa layak menjadi pahlawan nasional, yaitu: Pertama, Lopa merupakan contoh dari jaksa yang bersih, sehingga menjadi sapu yang bersih untuk membersihkan lantai yang kotor. Sebagaimana kita maklumi, salah satu problem pemberantasan korupsi di Indonesia adalah sapu yang ada masih kotor, sehingga sulit untuk membersihkan lantai yang kotor.
Kedua, Lopa dan keluarganya memberi inspirasi dan tauladan pejabat yang sederhana dan menjunjung tinggi kesederhanaan. Gaya hidup yang mewah sangat tidak cocok diperagakan oleh pejabat negara, karena kebanyakan masyarakat masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Ketiga, Lopa memberi inspirasi dan tauladan bahwa pejabat harus berani untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya, meskipun kemudian dengan risiko dimutasi atau kehilangan jabatan.
Keempat, Lopa gigih memperjuangkan pelaksanaan asas pembuktian terbalik, bahkan sudah mempersiapkan Perpu-nya. Pembuktian terbalik merupakan salah satu wahana paling ampuh untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Sayang, sebelum asas ini dilaksanakan, Lopa pergi meninggalkan kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar